Senin, 29 Agustus 2011

Peradilan Rakyat


Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.

"Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini."

Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.

"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"
Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?"
"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
Pengacara muda itu tersenyum.
"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."

"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."

Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.

"Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."

Pengacara tua itu meringis.
"Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan."
"Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!"
Pengacara tua itu tertawa.
"Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.
Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.

"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."

Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.

"Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog."
"Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."

"Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.

Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin danbeku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang.

Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini."

Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan.

"Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk membelanya."

"Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba.
Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran.
"Bagaimana Anda tahu?"

Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal siapa kamu."

Pengacara muda sekarang menarik napas panjang.
"Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."

Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
"Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?"
"Antara lain."
"Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku."
Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu.
"Jadi langkahku sudah benar?"
Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.

"Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
"Tidak! Sama sekali tidak!"
"Bukan juga karena uang?!"
"Bukan!"
"Lalu karena apa?"
Pengacara muda itu tersenyum.
"Karena aku akan membelanya."
"Supaya dia menang?"

"Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."
Pengacara tua termenung.
"Apa jawabanku salah?"
Orang tua itu menggeleng.

"Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang."

"Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan."

"Tapi kamu akan menang."
"Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang."

"Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."

Pengacara muda itu tertawa kecil.
"Itu pujian atau peringatan?"
"Pujian."
"Asal Anda jujur saja."
"Aku jujur."
"Betul?"
"Betul!"

Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi.
"Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?"

"Bukan! Kenapa mesti takut?!"
"Mereka tidak mengancam kamu?"
"Mengacam bagaimana?"
"Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka?"

"Tidak."
Pengacara tua itu terkejut.
"Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?"
"Tidak."
"Wah! Itu tidak profesional!"
Pengacara muda itu tertawa.
"Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!"
"Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"
Pengacara muda itu terdiam.
"Bagaimana kalau dia sampai menang?"
"Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!"
"Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?"
Pengacara muda itu tak menjawab.
"Berarti ya!"
"Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!"

Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.

"Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu disogok."
"Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut."

"Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan?"

"Betul."
"Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.

Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional."

Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.
"Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia."

Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.

"Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional."
"Tapi..."

Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda.
"Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam."

Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.

"Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai."

Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.

Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.

"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih, "Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?" ***

Minggu, 28 Agustus 2011

Asal Usul Pulau Kalimantan

Dahulu Kala, saat dimana batu dan laut sajalah yang mampu menyimpan memori ini, Pulau Kalimantan merupakan suatu daratan datar yang amatlah luas, semua orang dapat berjalan dengan mudah kemanapun mereka mau. Tidak ada bukit yang menjulang maupun tanah landai yang dalam. Hanya ada lautan yang datar untuk berenang dan daratan yang datar untuk berjalan. Manusia tinggal dengan damai di atasnya.

Sang Dewa wilayah atas, tidak puas dengan hal tersebut. "Mengapa saya harus tinggal dan berjalan di tingkatan yang sama dengan manusia dan hewan? Mengapa mereka harus tinggal di dalam rumah yang sama tingginya dengan tubuhku? Bukankah seharusnya saya berada di atas mereka?"

Sang Dewa amatlah kesal dengan hal tersebut. Sang Dewa mencari tempat untuk membangun rumah yang lebih tinggi daripada manusia dan hewan, sang dewa mencari cara untuk menyelesaikan masalah ini selama berminggu-minggu bahkan bertahun-tahun, rasa kesal yang ia pendam selama bertahun-tahun, membuatnya menjadi jelek dan kejam.

Tiba-tiba jawaban muncul dibenaknya. Dia harus membangun sebuah gunung. Gunung akan membuatnya tinggal ditempat yang lebih tinggi daripada manusia biasa. Namun, gunung`seperti apa? Gunung dari apakah yang harus Ia buat? Dia berpikir dan mengamati bebatuan, tanah, rerumputan, semak belukar, dan pohon yang besar. Namun dari semua itu, tidak ada yang cukup mulia untuk membangun gunung dan rumahnya.

Akhirnya Sang Dewa memutuskan emas. Emas berkilau dan bercahaya. Emas juga amatlah indah dan mulia. Emas juga dipercaya sebagai benda yang amat berharga oleh rakyat sekitar. Tentu saja, sebuah gunung emas amatlah mulia untuk rumahnya. Kemudian, ia menyulap semua emas yang ada di muka bumi dan membentuknya menjadi gunung yang menjulang amat tinggi, lebih berkilau di pagi hari dibandingkan dengan cahaya matahari itu sendiri.

Para rakyat amat terkesima, mereka menyanyikan kidung dan pujian serta tunduk kepada sang Dewa. Hal ini amat dihargai dan dianggap sebagai pujian yang amat hangat oleh Dewa wilayah atas.

Di puncak gunung tersebut Sang Dewa membangun sebuah rumah yang memancarkan cahaya yang amatlah terang yang amatlah menusuk mata meskipun gunung emas tidak bersinar. Keindahan cahaya rumah Sang Dewa membuat matahari dan
bulan pucat dalam ketakutan.

Para rakyat semakin mengagungkan Dewa dan terkesima pada rumah Sang Dewa. Hal ini lebih menyenangkan hati Sang Dewa Wilayah Atas. Namun tidak menyenangkan Sang Dewa Wilayah Bawah. Sang Dewa Wilayah Bawah menjadi naik darah, didalam kegelapan amarahnya, Ia berkata "Siapakah dia menurutnya? Apakah yang dapat ia perbuat, jika ia telah memiliki sebuah gunung emas dan rumah yang megah? Jika ia mempunyai sebuah gunung emas, aku juga harus memiliki sebuah gunung"

Sang Dewa Wilayah Bawah mencari emas untuk membangun gunungnya sendiri -- lebih tinggi, lebih besar, dan lebih bersinar dibandingkan milik Dewa Wilayah Atas. Namun tidak ada lagi emas yang tersisa di bumi.

Sang Dewa Wilayah Bawah melihat gunung menjulang. Ia tidak mau kalah dan merasa terkutuk. Dan akhirnya, ia tidak dapat menahan keinginannya lagi dan ia memutuskan untuk membangun gunung miliknya dengan apapun yang tersisa -- bebatuan dan tanah.

Sang Dewa Wilayah Bawah membangun sebuah gunung yang luar biasa -- lebih tinggi daripada awan, terbentuk dengan sempurna dan sangat nyaman dipandang mata. Namun tidak bercahaya seperti kilauan emas. Gunung itu tidak menyilaukan mata. Maka para rakyat tertawa dan meremehkannya.

Wajah Sang Dewa Wilayah Bawah menjadi merah, semerah nyala api lahar. Sang Dewa menjadi naik darah. Dia tahu bahwa membangun sebuah gunung yang besar tidaklah cukup. Dia harus membuat gunung yang jauh lebih indah dibandingkan Gunung milik Dewa Wilayah Atas.

Dalam kemarahannya yang luar biasa. Dewa Wilayah Bawah mengambil beberapa batuan disekitar wilayah ia membangun gunung tersebut dan menghancurkannya dengan jari tangannya sekuat tenaga. Ketika ia membuka tangannya, ia melihat bahwa bebatuan tersebut berubah menjadi batuan mulia, seperti batu merah delima, zamrud, safhir, dan permata. Namun sang Dewa masih merasa tidak puas. Ia menyemburkan api dan es ke bebatuan ini hingga menghasilkan bebatuan berkilau yang amat indah.

Sang Dewa Wilayah Bawah meletakkan bebatuan tersebut di permukaan gunungnya. Kemudian ia terus menerus menghancurkan dan menggali lebih banyak bebatuan dan menyemburkan api dan es ke bebatuan tersebut hingga gunung miliknya ditutupi dari atas hingga bawah oleh bebatuan mulia terindah dengan berbagai warna yang tidak dapat dibayangkan keindahannya.

Kini, rakyat juga menyorak-nyoraki dan tunduk kepada Sang Dewa Wilayah Bawah. Mereka menyembah dan tunduk kepada Dewa Wilayah Bawah.

Kedua Dewapun saling bertengkar, mereka saling meneriakkan hinaan melewati tanah landai diantara kedua gunung milik mereka. Petir Menyambar dan pepohonan berjatuhan. Kedua Gunung menjadi semakin landai dan landai, mereka saling menghantam mencoba merubuhkan gunung satu dengan yang lain.

Akhirnya kedua gunung meledak dalam erupsi api lahar yang menutupi langit dengan debu asap dan awan. Lahar mengalir deras melalui puing-puing gunung yang tersisa. Aliran lahar tersebut kemudian membentuk Pulau Kalimantan. Namun emas dan bebatuan berharga terbang tinggi ditiup kemanapun angin berhembus dan terbawa ke langit surga. Bebatuan berharga tersebut jatuh bagaikan hujan tertanam dalam di perut bumi. Bebatuan tersebut menanti hingga manusia pada generasi ke 1000 menggali dan menemukan mereka.

Kalimantan berarti Sungai yang Banyak Intannya. Dan para penduduk lokal percaya, apabila engkau pernah meminum air Kalimantan, suatu saat engkau akan menemukan jalan kembali ke Kalimantan.

Minggu, 07 Agustus 2011

Dua Pangeran

Dahulu kala, di sebuah kerajaan lahirlah dua orang pangeran yang sangat elok rupanya.Mereka adalah calon pewaris tahta sang raja, sehingga walaupun masih kecil mereka sudah di ajari bermacam-macam hal oleh para penghuni istana, terutama oleh sang raja dan ratu. Pada suatu hari, kedua pangeran kabur dari istana karena mereka bosan dengan semua kegiatan di istana.Di istana, mereka tidak bebas bermain dan tidak mengenal dunia luar, sehingga mereka bingung saat melihat keramaian kota untuk pertama kalinya.Mereka berkeliling kota dengan menyamar, sehingga tidak ada orang yang tahu bahwa mereka adalah pangeran dari keluarga kerajaan. Tetapi suatu hal yang tidak terduga terjadi, mereka berdua diculik oleh penyamun dan mereka dibawa ke tempat persembunyian para penyamun tersebut.Disana mereka terpaksa harus menderita, karena meskipun para penyamun itu mengetahui bahwa mereka berdua adalah pangeran mereka berdua tetap disuruh bekerja keras dan disiksa.Sementara itu keadaan istana gempar karena kedua pangeran menghilang,raja dan ratu yang khawatir akan keselamatan kedua pangeran menyuruh para tentara dan ksatria kerajaan utuk mencari dan membawa pulang kedua pangeran.Para tentara dan ksatria kerajaan kewalahan untuk mencari keberadaan kedua pangeran karena kota saat itu sangat ramai danterlalu banyak orang yang berkerumun.Tetapi, salah satu penyamun tersebut keluar dari tempat persembunyian dan berbuat onar,dan setelah para tentara kerajaan menagkap penyamun tersebut,penyamun itu memberitahukan tentang keberadaan kedua pangeran sebagai jaminan keselamatannya.Dan setelah mereka tiba di tempat persembunyian para tentara dan ksatria kerajaan langsung menumpas para penyamun itu dan menyelamatkan kedua pangeran yang sudaha babak belur karena disiksa dan disuruh bekerja terlalu keras oleh para penyamun itu.Setelah kedua pangeran tiba di istana,mereka langsung dimarahi oleh raja dan ratu.Dan sejak saat itu kedua pangeran berjanji tidak akan kabur lagi dari istana dan raja juga ratu berjanji akan memberikan kebebasan bagi kedua pangeran untuk keluar dari istana sesekali,tetapi harus dalam pengawasan.
 Pesan Moral : Berpamitlah kepada orangtua sebelum pergi,sehingga mereka tidak khawatir.